1

Hubungan Anemia dan Faktor Lain dengan Terjadinya Perdarahan Post Partum di RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Bab III Pasal 3 : 66).
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan secara menyeluruh, terarah dan berkesinambungan (Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Bab V Pasal 20 : 66).
Ibu anemia dengan perdarahan post partum masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting di negara yang sedang berkembang. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perdarahan antara lain faktor ibu (penyakit, usia, paritas, keadaan sosial, serta ekonomi) dan faktor janin (kemajuan persalinan/His jelek).
Anemia pada kehamilan adalah jenis anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang merupakan jenis anemia yang paling umum dan sebenarnya dapat diatasi dengan pengobatan yang relatif mudah dan murah. Anemia pada kehamilan mencerminkan rendahnya nilai kesejahteraan ekonomi masyarakat yang berpengaruh besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Anemia kehamilan disebut juga potensial danger to mother child, artinya potensial membahayakan ibu dan anak (Manuaba, 1998).
Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir termasuk perdarahan karena retensio placenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih 500 – 600 cc dalam 24 jam setelah anak dan placenta lahir (www.google.perdarahan).
Kematian akibat perdarahan sering terjadi karena sejumlah komplikasi obstetrik yang merupakan predisposisi terjadinya perdarahan hebat dan selanjutnya kematian bila tidak tersedia penanganan secara ahli termasuk terapi pergantian darah yang tepat.
Penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan mencapai 40% – 60%, infeksi 20% – 30%, eklampsi sekitar 20% – 30%, sedangkan penyebab kematian ibu tidak langsung ada 5,6 % yaitu penyakit ibu yang akan bertambah buruk dengan terjadinya kehamilan, seperti penyakit jantung, ginjal atau penyakit kronis lainnya serta anemia zat besi pada ibu hamil (Departemen Kesehatan RI, 2001).
Di Kabupaten …………… jumlah kematian ibu tahun 2006 sebanyak 28 ibu meninggal saat persalinan dengan penyebab utamanya yang terbanyak karena perdarahan sebesar 35,71 % sedangkan jumlah kematian ibu pada tahun 2009 di Kabupaten …………… sebanyak 40 ibu meninggal yang terdiri dari : 37,5% (17 orang), ibu bersalin karena perdarahan 58,8% (10 orang), eklampsi 17,6% (3 orang), Pre Eklampsi, kehamilan ektopik, atonia uteri, retensio plasenta 23,5% (4 orang), dan 42,5 % (15 orang) ibu nifas karena perdarahan 17,6% (3 orang), eklampsi 11,7% (2 orang), infeksi 23,5% (4 orang), lain-lain 35,2 % (6 orang) karena Pre Eklampsi, HPP (Hemoragi Post Partum), atonia uteri, retensio plasenta, serta 20% (8 orang) ibu hamil karena eklampsi 12,5% (1 orang), lain-lain 87,5% (7 orang) karena hipertensi, anemia, infeksi, dan abortus.
Pada tahun 2009 di RSUD …….. jumlah ibu yang mengalami perdarahan sebanyak 392 orang diantaranya 36,48% (143 orang) karena anemia, 44,89% (176 orang) karena hipertensi ,19,39% (73 orang) dan lain-lain. Angka ini merupakan indikator yang peka terhadap ketersediaan pemanfaatan dan kualitas terbaik untuk menilai pembangunan ekonomi masyarakat yang menyeluruh.
Perdarahan pada ibu dapat terjadi pada masa kehamilan hingga setelah proses persalinan. Penyebab perdarahan yang paling penting adalah perdarahan post partum, perdarahan ante partum, abortus dan kehamilan ektopik.
Dengan memperhatikan kejadian di atas maka Penulis ingin mengadakan penelitian tentang Hubungan Anemia dan Faktor Lain dengan Terjadinya Kejadian Perdarahan Post Partum di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) …….. Tahun 2009.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalahnya adalah “Belum diketahuinya hubungan anemia dan faktor lain dengan terjadinya perdarahan post partum di RSUD …….. Tahun 2009”.
Sehingga pernyataan penelitiannya adalah “Apa hubungan anemia dan faktor lain dengan terjadinya perdarahan post partum di RSUD …….. Tahun 2009”.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan anemia dan faktor lain yang menyebabkan terjadinya perdarahan post partum di RSUD …….. tahun 2009.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi anemia, hipertensi dan perdarahan post partum di RSUD …….. tahun 2009.
2. Diketahuinya hubungan anemia dengan perdarahan post partum di RSUD …….. tahun 2009.
3. Diketahuinya hubungan hipertensi dengan perdarahan post partum di RSUD …….. tahun 2009.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada masalah terjadinya perdarahan post partum yang meliputi faktor anemia dan hipertensi.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat memberikan informasi secara objektif tentang hubungan anemia dengan terjadinya perdarahan post partum sehingga menjadi pedoman dalam memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu hamil, memberikan pendidikan kesehatan untuk pencegahan perdarahan post partum dalam menurunkan angka kematian ibu.
1.5.2 Bagi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dokumentasi pada perpustakaan Program Studi Kebidanan Yayasan Imam Bonjol (YPIB) serta dapat dikembangkan lebih luas dalam penelitian selanjutnya.
1.5.3 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Peneliti terutama untuk menambah wawasan dalam hal mengetahui sebab-sebab terjadi kasus perdarahan post partum yang berkenaan dengan anemia ibu, serta menjadi suatu kesempatan yang berharga bagi Peneliti untuk dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama masa kuliah.

2

Gambaran Pengetahuan Ibu Post Partum tentang ASI Eksklusif Berdasarkan Karakteristik di RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu program pemerintah dalam bidang kesehatan adalah pentingnya ASI eksklusif bagi kualitas hidup bayi melalui Surat Keputusan (SK) Menkes RI nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif pada bayi di Indonesia. Dalam SK tersebut ditetapkan bahwa pemberian ASI eksklusif bagi bayi di Indonesia sejak bayi lahir sampai bayi berumur 6 (enam ) bulan dan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun bagi yang ingin pemberian ASI secara sempurna.
Sejak diberlakukannya program pemberian ASI eksklusif sejak tahun 2005, tingkat keberhasilan program tersebut masih jauh dari harapan. Hal ini diduga dengan rendahnya peran serta masyarakat dan pemanfaatan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif oleh ibu menyusui di Indonesia masih rendah. Rendahnya partisipasi ibu menyusui dalam memberikan ASI eksklusif dipicu dengan semakin gencarnya promosi susu formula yang instan. Oleh karena itu diperlukan peran serta dan partisipasi pebuh dari seluruh lapisan masyarakat, khususnya para Bidan dan ibu menyusui.
Upaya memasyarakatkan program pemberian ASI eksklusif berhubungan dengan pemberian ASI segera (kurang dari 30 menit setelah lahir) sampai bayi berumur 6 bulan. ASI adalah makanan terbaik dan paling ideal bagi bayi. ASI mengandung komposisi nutrisi yang paling lengkap dan paling mudah dicerna oleh bayi. Selain itu ASI merupakan satu-satunya sumber gizi yang berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak serta sistem saraf bayi, kematangan sistem pencernaan dan perkembangan sistem kekebalan tubuh.
Pemberian ASI pada bayi oleh ibu menyusui wajib hukumnya sesuai dengan tuntunan agama Islam sebagaimana difirman Allah swt pada (surat apa dan ayat berapa bu, tolong lengkapi) “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui sempurna”. Makna secara luas dari firman Allah swt tersebut adalah, pada dasarnya ibu menyusui dapat memberikan ASI bagi bayinya sampai usia dua tahun tanpa harus mengalami ketakutan karena berkurangnya kandungan nutrisi atau anggapan bahwa menyusui dalam waktu lama akan merusak keindahan payudara ibu menyusui.
UNICEF (tahun berapa Ibu tolong dilengkapi) menyebutkan bahwa, ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara pemberian ASI dengan benar, serta pemasaran susu formula yang dilancarkan secara agresif oleh para produk susu formula merupakan penghambat bagi terbentuknya kesadaran orang tua untuk memberikan ASI secara ekslusif pada bayinya. Pada umumnya tingkat pendidikan ibu khususnya ibu post partum di pedesaan sangat rendah. Sebagian dari mereka hanya memberikan ASI dengan berbekal dari informasi yang turun temurun dari masyarakat setempat dan kurang mendapatkan penyuluhan yang cukup dari tenaga kesehatan. Akibatnya sebagian besar ibu memberikan makanan selain ASI sebelum bayi berumur 6 bulan.
Badriah (2007:49) ASI eksklusif merupakan makanan utama bayi sampai usia 6 bulan karena mengandung banyak kalori dan berkomposisi sempurna zat-zat gizi secara seimbang sehingga dapat menjamin kebutuhan energi untuk bayi. Proses menyusui bayi juga sangat baik untuk membina rasa kasih sayang antara ibu dan anaknya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten ……… (tahun berapa bu) target yang harus dicapai pada tahun 2008 adalah 67%, sedangkan hasil yang dapat dicapai hanya berjumlah 3,9 % (2.273 ibu menyusui). Demikian juga data hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD ……. (April-Mei 2009) keseluruhan ibu post partum yang berjumlah 477 orang dan yang memberikan ASI eksklusif hanya berjumlah 199 bayi (37.8%) dan yang diberikan PASI adalah berjumlah 278 bayi. Yang menyebabkan tidak tercapainya cakupan ASI eksklusif disebabkan oleh dua hal utama yaitu adanya indikasi medis dan karena kurangnya pengetahuan ibutentang manfaat dari ASI eksklusif.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Gambaran Pengetahuan ibu post partum tentang ASI eksklusif berdasarkan karakteristik di RSUD ……. Kabupaten ……… Tahun 2009”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka ditetapkan rumusan masalahsebagai berikut: Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu post partum tentang ASI eksklusif berdasarkan karakteristik di RSUD ……. Kabupaten ……… tahun 2009?

1.3 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu post partum tentang ASI eksklusif berdasarkan karakteristik di RSUD ……. Kabupaten ……… tahun 2009.
b. Tujuan Khusus
1) Diketahui gambaran pengetahuan ibu post partum tentang ASI eksklusif berdasarkan umur di RSUD ……. Kabupaten ……… tahun 2009.
2) Diketahui gambaran ibu post partum tentang ASI eksklusif berdasarkan paritas di RSUD ……. Kabupaten ……… tahun 2009.
3) Diketahui gambaran pengetahuan ibu post partum tentang ASI eksklusif berdasarkan pendidikan di RSUD ……. Kabupaten ……… tahun 2009.
4) Diketahui gambaran pengetahuan ibu post partum tentang ASI eksklusif berdasarkan pekerjaan di RSUD ……. Kab ……… tahun 2009.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Untuk menambah informasi pada pengembangan kajian Ilmu Gizi Kesehatan Reproduksi dan Asuhan Kebidanan Neonatus khususnya tentang ASI eksklusif pada ibu post partum di RSUD ……. Kabupaten ……… tahun 2009.
1.4.2 Manfaat Praktek
a. Bagi ibu menyusui
Diharapkan ibu post partum mengerti dan berpartisipasi aktif dalam memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pada bayinya karena memahami manfaatnya bagi pertumbuhan dan perkembangan bayinya.
b. Bagi RSUD …….
Diharapkan bisa menjadi bahan infomasi dan masukan bagi RSUD ……. guna meningkatkan cakupan ASI eksklusif bagi ibu post partum yang menggunakan jasa pelayanan RSUD ……. sebagai tempat persalinan.
c. Bagi Bidan
Diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta keterampilan sehingga dapat memberikan motivasi dan konseling serta asuhan kebidanan yang terbaik terhadap klien sehingga klien berpartisipasi aktif dalam pemberian ASI eksklusif.
d. Bagi STIKU
Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan sebagai bahan rujukan dalam kajian kepustakaan dan acuan untuk panduan penelitian selanjutnya.

3

Gambaran Kejadian Preeklampsia Berdasarkan Karakteristik Ibu di UPTD Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan, sampai saat ini masih tinggi di Indonesia dan jauh berada di atas negara ASEAN lainnya. Menurut hasil SDKI tahun 2002-2003, angka kematian ibu di Indonesia 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut 61 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara Singapura dan 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara Malaysia (Manuaba , 2004).
Berdasarkan survei tahun 2003, Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat menunjukan bahwa angka kematian ibu di wilayah Pantura (………, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) sebesar 366,80 per 100.000 kelahiran hidup (Statistik Sosial Ekonomi Penduduk Kabupaten ………, 2008).
Penyebab kematian ibu masih merupakan “trias klasik”, yaitu perdarahan 60% (184,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 30% (92,1 per 100.000 kelahiran hidup), dan gestosis 10% ( 30,7 per 100.000 kelahiran hidup) (Manuaba, 2004). Sedangkan menurut Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 jumlah ibu meninggal karena perdarahan mencapai 38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), gestosis 26,47% (76,97 per 100.000 kelahiran hidup), akibat penyakit bawaan 19,41 (56,44 per 100.000 kelahiran hidup), dan infeksi 5,88% (17,09 per 100.000 kelahiran hidup).
Dari data-data tersebut di atas dapat dilihat adanya peningkatan jumlah kematian ibu maupun pergeseran urutan penyebab kematian akibat gestosis yaitu yang semula berada di urutan ke-3 sebanyak 30,7 per 100.000 kelahiran hidup (10%) menjadi urutan ke-2 yaitu sebanyak 76,97 per 100.000 kelahiran hidup (26,47%). Preeklampsia berat dan komplikasinya (eklampsia) juga menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu di Kabupaten ……….
Pada tahun 2008 jumlah kematian ibu di Kabupaten ……… adalah 68 orang yang disebabkan karena : perdarahan 32 orang, eklampsia 13 orang, dan sisanya 13 orang karena penyakit bawaan (Profil Kesehatan Kabupaten ………, 2008).
Pada tahun 2009 sampai dengan bulan September dari 48 kematian ibu, yang disebabkan perdarahan 22 orang, penyakit bawaan 18 orang, dan 8 orang karena eklampsia (Bidang Kesga Dinkes Kab. ………, 2009).
Preeklampsia (dahulu disebut gestosis) merupakan hipertensi yang dipicu oleh kehamilan dan terjadi pada 5-20% perempuan khususnya primigravida, ibu hamil dengan kehamilan kembar, ibu yang menderita diabetes mellitus, dan hipertensi essensial. Bahaya dari preeklampsia meliputi solutio placenta, kegagalan ginjal dan jantung, hemorargi serebral, insupisiensi placenta, dan gangguan pertumbuhan janin (Denis Tiran, 2006).
Peningkatan kejadian kematian akibat preeklampsia dan komplikasinya sampai saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti, sehingga belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan preeklampsia. Oleh karena itu deteksi dini preeklampsia sangat diperlukan yaitu dengan menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas yaitu minimal 4 kali kunjungan yaitu masing-masing 1 kali pada trimester I dan II, serta 2 kali pada trimester III (Depkes, 2003).
Selain itu masih rendahnya akses para ibu terhadap sarana pelayanan kesehatan yang berkualitas karena jumlahnya masih terbatas dan belum merata sebarannya, masih rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang hal-hal yang perlu dilakukan untuk menjaga kehamilan juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh dan menjadi faktor yang menyebabkan tingginya kematian ibu (Depkes, 2005).
Menteri Kesehatan, Siti Fadila Supari mengatakan, guna menurunkan angka kematian ibu menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009, Departemen Kesehatan telah menyiapkan empat strategi pokok yakni penggerakan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, mendekatkan akses keluarga miskin dan rentan terhadap layanan kesehatan berkualitas, meningkatkan surveillance, dan meningkatkan pembiayaan di bidang kesehatan (Depkes, 2005).
Kehamilan, persalinan, dan nifas merupakan proses reproduksi yang normal. Walaupun demikian kehamilan, persalinan, dan nifas yang normal pun mempunyai resiko. Resiko tinggi kehamilan merupakan penyimpangan, dan secara langsung dapat menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Salah satu faktor resiko kehamilan yang dapat menyebabkan kematian ibu adalah preeklampsia (Pedoman Pemantauan PWS KIA, 1997).
Unit Pelaksana Teknis Dinas Pusat Kesehatan Masyarakat (UPTD Puskesmas) sebagai institusi kesehatan yang langsung berhubungan dengan masyarakat, menjadi ujung tombak dalam upaya menurunkan AKI, salah satunya adalah UPTD Puskesmas ……………. Kecamatan ……………. Kabupaten ……….
Dari laporan tahunan KIA UPTD Puskesmas ……………. didapat data bahwa pada tahun 2007 terjadi 14 kasus preeklampsia dengan 1 kematian ibu karena eklampsia, tahun 2008 terjadi 16 kasus preeklampsia, dan tahun 2009 sampai dengan bulan Oktober terjadi peningkatan kasus preeklampsia menjadi 29 orang.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang “GAMBARAN KEJADIAN PREEKLAMPSIA BERDASARKAN KARAKTERISTIK IBU DI WILAYAH UPTD PUSKESMAS ……………. KABUPATEN ……… PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 31 OKTOBER 2009”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data yang bersumber dari Laporan Tahunan KIA UPTD Puskesmas ……………. tahun 2007 dan tahun 2008, serta Rekap Laporan KIA UPTD Puskesmas ……………. Kecamatan ……………. Kabupaten ……… tahun 2009 seperti diuraikan dalam latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana gambaran kejadiaan preeklampsia berdasarkan karakteristik ibu di UPTD Puskesmas ……………. Kecamatan ……………. Kabupaten ……… periode 1 Januari sampai dengan 31 Oktober 2009 ?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran kejadian preeklampsia berdasarkan jenis preeklampsia dan karakteristik ibu di UPTD Puskesmas ……………. Kecamatan ……………. Kabupaten ……… periode 1 Januari sampai dengan 31 Oktober 2009
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya angka kejadian preeklampsia berdasarkan jenis preeklampsia
b. Diketahuinya gambaran kejadian preeklampsia berdasarkan umur ibu
c. Diketahuinya gambaran kejadian preeklampsia berdasarkan paritas ibu
d. Diketahuinya gambaran kejadian preeklampsia berdasarkan umur kehamilan ibu
e. Diketahuinya gambaran kejadian preeklampsia berdasarkan jumlah janin dalam kandungan ibu
f. Diketahuinya gambaran kejadian preeklampsia berdasarkan riwayat preeklampsia yang lalu.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memperoleh hasil penelitian baru tentang gambaran kejadian preeklampsia sehingga dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Untuk dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya menurunkan angka kejadian preeklampsia berat dengan deteksi dini preeklampsia ringan dan penanganan yang tepat sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu.

E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada jenis preeklampsia, umur, paritas, umur kehamilan, jumlah janin dalam kandungan, dan riwayat preeklampsia yang lalu pada ibu yang mengalami preeklampsia dalam proses kehamilan dan persalinan di UPTD Puskesmas ……………. Kabupaten ……… periode 1 Januari sampai dengan 31 Oktober 2009 tanpa dilakukan uji hubungan atau analisis lebih lanjut

5

Pengetahuan Ibu Hamil Trimester I tentang Emesis Gravidarum di Wilayah Kerja Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehamilan merupakan keadaan mengandung embrio atau fetal di dalam tubuh setelah penyatuan sel telur dan spermatozoa (Dorland, 2002). Konsepsi dan implantasi (nidasi) sebagai titik awal kehamilan menyebabkan keterlambatan datang bulan serta menimbulkan perubahan rohani dan jasmani. Keterlambatan datang bulan tersebut diikuti dengan perubahan subyektif seperti perasaan mual, ingin muntah, pusing kepala dan nafsu makan berkurang (Manuaba, IBG, 1999 ).
Perasaan mual dan muntah sering dialami ibu yang sedang hamil muda. Angka kejadian mual muntah terjadi pada 60-80% primigravida dan 40-60% multigravida (Sarwono, 2002). Lacroix, dkk (2000) melaporkan, emesis gravidarum (mual muntah) terjadi 75% pada wanita hamil dan lamanya berlangsung sekitar 35 hari (www.infoibu.com.2005). Menurut Suririnah (2005), hampir 50-90% dari wanita hamil mengalami mual pada trimester pertama (3 bulan pertama kehamilannya). Keluhan mual muntah ini dikatakan wajar jika dialami pada usia kehamilan 8–12 minggu dan semakin berkurang secara bertahap hingga akhirnya berhenti di usia kehamilan 16 minggu (www.tempointeraktif.com/medika/arsip/122002/art-2.htm). Meskipun emesis gravidarum ini sering disebut juga sebagai morning sickness yang artinya sering terjadi pada pagi hari, namun menurut penelitian, 80% dari emesis gravidarum terjadi sepanjang hari (www.infoibu.com.2005).\
Banyak yang mempertanyakan penyebab dari emesis gravidarum ini. Pertanyaan ini dijawab Goodwin, dkk (1994) bahwa penyebab dari emesis gravidarum adalah terjadinya peningkatan kadar hormon dan pengaruh perubahan psikologis yang terjadi selama kehamilan. Peningkatan hormon ini direspon berbeda oleh wanita hamil, sehingga memiliki derajat mual yang berbeda-beda. Ada yang tidak merasakan apa-apa, tapi ada juga yang merasa mual dan ada yang merasa sangat mual dan muntah setiap saat sehingga memerlukan pengobatan (hiperemesis gravidarum) (www.infoibu.com.2005).
Para peneliti dari Liverpool University menyebutkan bahwa pada awal masa kehamilan, morning sickness seringkali merupakan hari yang sangat menakutkan bagi ibu hamil. Hal itu sering menyebabkan menurunnya nafsu makan dan kurangnya asupan makanan yang sehat, padahal masa tersebut merupakan masa yang penting bagi perkembangan janin. (www.tempointeraktif.com/medika/arsip/122002/art-2.htm). Berdasarkan suatu kajian bahwa 95% wanita yang mempunyai diet yang baik akan mempunyai bayi yang sehat dan dari wanita yang makan gizi buruk hanya 8% mempunyai bayi dengan kesehatan baik (Curtis, G, 2000).
Berdasarkan data kunjungan di ruang BKIA Puskesmas ……… Kecamatan …………… periode bulan Januari – Maret 2008 diperoleh data 166 ibu hamil yang periksa meliputi TM I sejumlah 53 orang, TM II sejumlah 80 orang, dan TM III sejumlah 33 orang. Dari data tersebut terdapat 71 ibu hamil yang mengeluhkan mual muntah yang terdiri dari 53 ibu hamil TM I dan 18 ibu hamil TM II. Sedangkan menurut studi pendahuluan pada waktu pendataan PKL yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas ……… Kecamatan …………… pada tanggal 10-14 Maret 2008 didapatkan data ibu hamil yang mengalami mual muntah di Desa Sumberejo sejumlah 9 dari 33 ibu hamil, Desa Nambaan sejumlah 9 dari 35 ibu hamil dan Desa Toyoresmi sejumlah 8 dari 32 ibu hamil.
Disadari penulis bahwa pengetahuan sangat mendasari terbentuknya tindakan seseorang, karena perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, S, 2003). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran pengetahuan ibu hamil trimester I tentang emesis gravidarum.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut “Bagaimanakah Pengetahuan Ibu Hamil Trimester I Tentang Emesis Gravidarum di Wilayah Kerja Puskesmas ……… Kecamatan …………… Kabupaten …….?”

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengetahuan ibu hamil trimester I tentang emesis gravidarum di wilayah kerja Puskesmas ……… Kecamatan …………… Kabupaten ……..
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui pengetahuan ibu hamil trimester I tentang definisi emesis gravidarum di wilayah kerja Puskesmas ……….
1.3.2.2 Mengetahui pengetahuan ibu hamil trimester I tentang penyebab emesis gravidarum di wilayah kerja Puskesmas ……….
1.3.2.3 Mengetahui pengetahuan ibu hamil trimester I tentang pengaruh emesis gravidarum bagi kesehatan ibu dan janin di wilayah kerja Puskesmas ……….
1.3.2.4 Mengetahui pengetahuan ibu hamil trimester I tentang cara mengurangi dan mengatasi emesis gravidarum di wilayah kerja Puskesmas ……….

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
1.4.1.1 Menambah wawasan bagi peneliti mengenai pengetahuan ibu hamil TM I tentang emesis gravidarum di wilayah kerja Puskesmas ……….
1.4.1.2 Mengembangkan kemampuan peneliti dalam
mengaplikasikan pengetahuan tentang metode penelitian dalam masalah nyata yang ada di mayarakat.
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk mempertimbangkan dan evaluasi dalam rangka meningkatkan pelayanan asuhan kebidanan khususnya penyuluhan bagi ibu hamil tentang emesis gravidarum.
1.4.3 Bagi Institusi
Sebagai bahan tambahan untuk pengetahuan dan informasi agar dapat mengembangkan penelitian selanjutnya tentang emesis gravidarum dalam konteks yang berbeda.

0

Hubungan Kejadian Partus Prematur dengan Paritas di Kamar Bersalin RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini partus prematur menjadi perhatian utama dalam bidang obstetrik, karena erat kaitannya dengan morbiditas dan mortalitas perinatal. Partus prematur merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal di seluruh dunia (Agustinafi, 2005).
Janin yang lahir secara prematur mempunyai risiko komplikasi yang sangat tinggi, sehingga risiko untuk terjadi asfiksia juga tinggi. Hal ini dikarenakan bayi sulit untuk menyesuaikan diri di luar rahim ibu yang disebabkan alat-alat tubuh bayi belum berfungsi secara maksimal seperti bayi yang lahir aterm. Semakin pendek usia kehamilan, alat-alat tubuh bayi semakin kurang sempurna, sehingga risiko komplikasi pada janin semakin tinggi. Dalam hal ini kematian perinatal banyak terjadi pada bayi prematur (Hanifa, 2002 : 312).
Tahun 2002 tercatat Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 13,02/1000 kelahiran hidup, dimana 20,51% disebabkan oleh partus prematur. Tahun 2003 AKB sebesar 18,01/1000 kelahiran hidup dan 23,64% kematian disebabkan oleh partus prematur. Tahun 2004 AKB sebesar 27,62/1000 kelahiran hidup, dimana 3 8,57% penyebabnya adalah partus prematur (Yuli, 2004). Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Jawa Timur Angka Kematian Bayi. tahun 2009 sebesar 26,9/1000 kelahiran hidup dimana 29% kematian disebabkan oleh partus prematur (Dinkes Jatim, 2008)
Penyebab partus prematur masih sulit ditentukan, akan tetapi tampaknya mempunyai hubungan dengan status medis dan status sosial diantaranya kemiskinan, malnutrisi, ketergantungan obat, penyakit menular seksual, perokok dan kehamilan pada usia muda (Yuli, 2004). Selain itu, paritas juga merupakan faktor penyebab terjadinya partus prematur (Agustinafi, 2005).
Tahun 2005 Indonesia memiliki kejadian partus prematur sekitar 19% dimana 20% dari kelahiran tersebut disebabkan oleh faktor paritas. Wanita yang telah melahirkan lebih dari tiga kali mempunyai risiko 4 kali lebih besar mengalami partus prematur bila dibandingkan dengan wanita yang paritasnya kurang dari 3 (Agustinafi, 2005).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Buku Laporan Pasien di Kamar Bersalin RSUD ………… Kota …….. pada bulan Maret 2008 terdapat 11 persalinan prematur, 5 persalinan dengan paritas kurang dari 3 sedangkan 7 persalinan dengan paritas lebih/sama dengan 3 menyebabkan 2 bayi meninggal.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hubungan kejadian partus prematur dengan paritas di RSUD ………… Kota …….. periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2009.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan masalah penelitian “Adakah hubungan kejadian partus prematur dengan paritas di Kamar Bersalin RSUD ………… Kota …….. Periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2009 ?”.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kejadian partus prematur dengan paritas di Kamar Bersalin RSUD ………… Kota …….. Periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2009.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kejadian partus prematur di Kamar Bersalin RSUD ………… Kota …….. Periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2009.
b. Mengidentifikasi paritas ibu yang mengalami partus prematur .
c. Menganalisis hubungan kejadian partus prematur dengan paritas di Kamar Bersalin RSUD ………… Kota …….. Periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2009.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai hubungan kejadian partus prematur dengan paritas .
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Sebagai informasi tentang hubungan antara kejadian partus prematur dengan paritas .
1.4.3 Bagi Institusi
Dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan dan informasi tentang hubungan kejadian partus prematur dengan paritas .

0

Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua tentang Pemberian Makan Kepada Anak dengan Kejadian Obesitas pada Balita

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pemberian nutrisi secara seimbang pada anak harus dimulai sejak dalam kandungan, yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Setelah lahir harus diupayakan pemberian ASI secara eksklusif, yaitu pemberian ASI saja sampai anak berumur 6 bulan. Sejak berumur 6 bulan, anak diberikan tambahan atau pendamping ASI (PASI). Pemberian PASI ini penting untuk melatih kebiasaan makan yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang meningkat pada masa bayi dan prasekolah. Karena pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi adalah sangat pesat, terutama pertumbuhan otak (Nursalam,dkk.2005).
Namun tidak selamanya nutrisi pada anak terpenuhi dengan seimbang. Kondisi ini menimbulkan perbedaan keadaan gizi antara anak yang satu dengan anak yang lain. Ada kalanya anak memiliki keadaan gizi lebih, keadaan gizi baik, dan keadaan gizi buruk. Keadaan gizi baik akan dapat dicapai dengan pemberian makanan yang seimbang bagi tubuh menurut kebutuhan. Sedangkan gizi lebih atau gizi kurang terjadi bila pemberian makanan tidak seimbang menurut kebutuhan anak.
Obesitas merupakan kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan (Damayanti, 2004). Secara umum, kegemukan (obesitas) disebabkan oleh tidak seimbangnya energi dari makanan dengan kalori yang dikeluarkan. Kondisi ini akibat interaksi beberapa faktor, yaitu keluarga, penggunaan energi, dan keturunan (yatim, 2005).
Terdapat 3 faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya obesitas, yaitu genetik, lingkungan dan neuro (Juanita, 2004). Namun, berdasarkan hasil penelitian Badan International Obeysitas Task Force (ITF) dari badan WHO yang mengurusi anak yang kegemukan, 99% anak obesitas karena faktor lingkungan, sedangkan yang dianggap genetik biasanya bukan genetik tetapi akibat faktor lingkungan (Darmono, 2006). Faktor lingkungan ini dipengaruhi oleh aktifitas dan pola makan orang tua anak, misal pola makan bapak dan ibunya tidak teratur menurun pada anak, karena di lingkungan itu tidak menyediakan makanan yang tinggi energi, bahkan aktifitas dalam keluarga juga mendukung (Darmono, 2006).
Komplikasi dari anak – anak yang mengalami obesitas, bisa terjadi diabetes tipe 2 yang resisten terhadap insulin, sindrom metabolisme, muncul tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan tingkat blood lipid yang abnormal (Fauzin, 2006).
Menurut Roskitt dan Clair yang dikutip oleh Subardja D, 2004, “obesitas pada anak merupakan cikal bakal terjadinya penyakit degeneratif kardiovaskuler, Diabetes Mellitus, dan penyakit degeneratif lainnya yang dapat timbul sebelum atau setelah masa dewasa”.
Di Indonesia, angka kejadian obesitas terus meningkat, hal ini disebabkan perubahan pola makan serta pandangan masyarakat yang keliru bahwa sehat adalah identik dengan gemuk (Soetjiningsih, 1998). Kurangnya pengetahuan dan salah persepsi tentang kebutuhan makanan dan nilai makanan juga merupakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang (Budiyanto, 2004). Obesitas yang terjadi sebelum umur 5 tahun mempunyai kecenderungan tetap gemuk pada waktu dewasa, dari pada yang terjadi sesudahnya (Soetjiningsih, 1998).
Peningkatan prevalensi obesitas ini terjadi di Negara maju maupun berkembang. Menurut Damayanti, 2004 prevalensi obesitas pada anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6 – 10,8% menjadi 13-14%. Sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9% menjadi 19 %.
Mengutip Survey Kesehatan Nasional, di Indonesia prevalensi obesitas pada balita juga naik. Prevalensi obesitas pada tahun 1992 sebanyak 1,26% dan 4,58% pada 1999. Sedangkan berdasarkan data RSU Dr.Soetomo Surabaya bagian anak menyebutkan jumlah anak kegemukan (obesitas) 8% pada tahun 2004 dan menjadi 11,5% pada tahun 2005.
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di KB-TKIT Al-Hikmah Surabaya, dari 122 siswa didapatkan data anak yang mempunyai status gizi Lebih (obesitas) sebanyak 21 orang atau 17,2%.
Melihat dari uraian di atas masalah yang terjadi adalah kejadian obesitas pada anak dan balita terus meningkat, serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak. Pengetahuan yang kurang ini dapat menyebabkan perilaku yang salah dalam memberikan dan mengawasi pola makan anaknya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang “Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita”.

1.2 Rumusan masalah
Apakah ada hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita?

1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi pengetahuan orang tua dari balita yang obesitas dan balita yang tidak obesitas di KB-TKIT Al-Hikmah Surabaya tentang pemberian makan kepada anak
1.3.2.2 Mengidentifikasi kejadian obesitas pada balita di KB-TKIT Al-Hikmah Surabaya
1.3.2.3 Menganalisis hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita di KB-TKIT Al-Hikmah Surabaya.

1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi program kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pembinaan dan pelatihan serta pioritas program dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat dan penanggulangan kasus obesitas di masyarakat, khususnya pada balita.
1.4.2 Bagi Ilmu Pengetahuan
Menambah kajian baru ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan dan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan penelitian selanjutnya
1.4.3 Bagi penulis
Penulis dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku kuliah dalam kehidupan yang nyata di tengah-tengah masyarakat.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan/ sumber rujuan bagi penelitian – penelitian selanjutnya.

1

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Remaja SMA …. Terhadap Infeksi Menular Seksual

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B. Beberapa diantaranya, yakni HIV dan syphilis, dapat juga ditularkan dari ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan melalui darah serta jaringan tubuh.
Sampai sekarang, infeksi menular seksual masih menjadi masalah kesehatan, sosial maupun ekonomi di berbagai negara (WHO, 2003). Peningkatan insidens infeksi menular seksual dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insidens infeksi menular seksual atau paling tidak insidensnya relatif tetap. Namun demikian, di sebagian besar negara insidens infeksi menular seksual relatif masih tinggi (Hakim, 2003). Angka penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang terdata hanya sebagian kecil dari penderita sesungguhnya (Lestari, 2008).
Di Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah syphilis dan gonorrhea. Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni dengan prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%; Di kota Surabaya prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8% dan gonorrhea 19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8%, syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian syphilis terus meningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan pada tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005 meningkat menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual. Kecenderungan kian meningkatnya penyebaran penyakit ini disebabkan perilaku seksual yang bergonta-ganti pasangan, dan adanya hubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit menular seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya (Lestari, 2008).
Tingginya kasus penyakit infeksi menular seksual, khususnya pada kelompok usia remaja, salah satu penyebabnya adalah akibat pergaulan bebas. Sekarang ini di kalangan remaja pergaulan bebas semakin meningkat terutama di kota-kota besar. Hasil penelitian di 12 kota besar di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah melakukan hubungan seksual. Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi dr. Boyke Dian Nugraha di Jakarta mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas semakin meningkat. Dari sekitar 5% pada tahun 1980-an, menjadi 20% pada tahun 2000. Kisaran angka tersebut didapat dari berbagai penelitian di beberapa kota besar di Indonesia. Kelompok remaja yang masuk ke dalam penelitian tersebut umumnya masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau mahasiswa. Namun dalam beberapa kasus juga terjadi pada anak-anak yang duduk di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Rauf, 2008).
Pengetahuan tentang infeksi menular seksual dapat ditingkatkan dengan pemberian pendidikan kesehatan reproduksi yang dimulai pada usia remaja. Pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja bukan hanya memberikan
pengetahuan tentang organ reproduksi, tetapi juga mengenai bahaya akibat pergaulan bebas, seperti penyakit menular seksual dan kehamilan yang belum diharapkan atau kehamilan berisiko tinggi (BKKBN, 2005). Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap remaja terhadap infeksi menular seksual agar dapat diketahui apakah diperlukan tambahan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dalam upaya menghambat peningkatan insidens infeksi menular seksual di kalangan remaja dewasa ini.

1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah bahwa penulis ingin mengetahui:
Bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap remaja SMA Wiyata Dharma Medan terhadap infeksi menular seksual?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap remaja SMA Wiyata Dharma Medan terhadap infeksi menular seksual.
Tujuan Khusus •
Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Memperoleh informasi tentang pengetahuan remaja SMA Wiyata Dharma Medan tentang infeksi menular seksual.
2. Memperoleh informasi tentang sikap remaja SMA Wiyata Dharma Medan terhadap infeksi menular seksual.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai gambaran pengetahuan dan sikap remaja terhadap infeksi menular
seksual sehingga dapat direncanakan suatu strategi untuk menindaklanjutinya.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah dalam memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi pada kalangan remaja.
3. Sebagai bahan masukan bagi orang tua dalam upaya merangsang kepedulian orang tua terhadap pendidikan seksual anak yang dimulai pada usia remaja.
4. Sebagai bahan masukan bagi remaja dalam menyikapi hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.

0

Karakteristik Penderita Kanker Leher Rahim di RSUD

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kanker leher rahim merupakan kanker yang terjadi pada serviks uterus, yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker ini terjadi pada wanita yang telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukkan bahwa kanker leher rahim dapat juga menyerang wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun (Yohanes R, 1999)
Penyebab kanker leher rahim belum diketahui secara pasti. Ada beberapa hal yang diduga dapat menambah resiko timbulnya kanker leher rahim, diantara yang penting jarang ditemukan pada perawan (virgo), insiden lebih tinggi pada mereka yang sudah kawin daripada yang belum kawin, insiden meningkat dengan tingginya paritas, apalagi jika jarak persalinan terlalu dekat, mereka yang dalam golongan sosial ekonomi rendah, aktivitas seksualnya sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), higiene seksual yang jelek, jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi), dan sering dijumpai pada wanita yang mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus) tipe 16 atau 18, pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada usia amat muda (<16 style=”font-weight: bold;”>1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah karakteristik penderita kanker leher rahim di RSUD ………… Kota …….. periode 1 Januari s/d 31 Desember 2009?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim di RSUD ………… Kota …….. mulai periode 1 Januari s/d 31 Desember 2009.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan usia pasien.
2. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan paritas.
3. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan usia ketika menikah.
4. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan jenis kontrasepsi yang digunakan.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat menerapkan teori riset kebidanan tentang karakteristik penderita kanker leher rahim.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan dalam memberikan pengetahuan dan informasi dari hasil penelitian untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pelayanan terhadap kanker leher rahim.

6

Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi dan harus diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. ASI harus menjadi makanan utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. ASI terus memberikan faktor-faktor anti infeksi unik yang tidak dapat diberikan oleh makanan lain (Rosidah, 2008).
Setelah usia 4 bulan sampai 6 bulan disamping ASI dapat pula diberikan makanan tambahan, namun pemberiannya harus diberikan secara tepat meliputi kapan memulai pemberian, apa yang harus diberikan, berapa jumlah yang diberikan dan frekuensi pemberian untuk menjaga kesehatan bayi (Rosidah, 2008). Sehingga saat mulai diberikan makanan tambahan harus disesuaikan dengan maturitas saluran pencernaan bayi dan kebutuhannya (Narendra, dkk, 2008).
Di negara-negara yang sudah maju seperti Eropa dan Amerika, makanan padat sebelum tahun 1970 diberikan pada bulan-bulan pertama setelah bayi dilahirkan, akan tetapi setelah tahun tersebut banyak dilaporkan tentang kemungkinan timbulnya efek sampingan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Waktu yang baik untuk memulai pemberian makanan padat biasanya pada umur 4 – 5 bulan. Resiko pada pemberian sebelum umur tersebut antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas (Pudjiadi, 2008).
Hasil penelitian oleh para pakar menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan balita, antara lain disebabkan kekurangan gizi sejak bayi dalam kandungan, pemberian makanan tambahan terlalu dini atau terlalu lambat, makanan tambahan tidak cukup mengandung energi dan zat gizi mikro terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai dan ibu tidak berhasil memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Supriyono, 2008).
Menurut Cesilia M. Reveriani, pakar gizi anak Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menguraikan hasil survey penggunaan makanan pendamping ASI sekitar 49% bayi sebelum usia 4 bulan sudah diberi susu formula, 45,1% makanan cair selain susu formula dan 50% makanan padat. Pemberian susu formula makanan pendamping ASI cair dan yang diberikan pada bayi kurang dari 4 bulan cenderung dengan intensitas atau frekuensi yang sangat tinggi sehingga dapat membahayakan dan berakibat kurang baik pada anak, yang dampaknya adalah kerusakan pada usus bayi. Karena pada umur demikian usus belum siap mencerna dengan baik sehingga pertumbuhan berat badan bayi terganggu, antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat sehingga ke obesitas dan malnutrisi.
Pada Indonesia sehat 2010, target ASI eksklusif selama 4 bulan adalah 80%. Penelitian di Kabupaten ………… …… …… tahun 2008 menunjukkan sebagian besar responden (59%) memberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan 41% memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat bayi berusia 4 bulan atau lebih (Supriyono, 2008).
Di Indonesia terutama di daerah pedesaan sering kita jumpai pemberian makanan tambahan mulai beberapa hari setelah bayi lahir. Kebiasaan ini kurang baik karena pemberian makanan tambahan dini dapat mengakibatkan bayi lebih sering menderita diare, mudah alergi terhadap zat makanan tertentu, terjadi malnutrisi atau gangguan pertumbuhan anak, produksi ASI menurun (Narendra, dkk, 2008).
Pada dasarnya dapat diharapkan bahwa bayi tidak akan makan secara berlebihan yaitu diberi makanan tambahan dini karena akan berakibat penambahan berat badan berlebihan (Behrman dan Vaughan, 2005).
Data dari Dinas Kesehatan Kota ……….. tahun 2008 menunjukkan bahwa dari 48.974 bayi, 16.729 bayi (33,11%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan, di kecamatan Mulyorejo dari 1.603 bayi, 1.254 bayi (78,23%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan. Dan di BPS …… ……. ……… ….. ……….. saat penelitian pendahuluan pada bulan Mei 2010 dari 10 bayi, 7 bayi (70%) diantaranya sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
Adakah hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi pemberian makanan tambahan.
1.3.2.2 Mengidentifikasi pertumbuhan berat badan bayi usia 4 bulan.
1.3.2.3 Menganalisa hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti dalam mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang pemberian makanan tambahan.
1.4.2 Bagi BPS
Sebagai bahan masukan bagi BPS dalam menggalakkan KIE program ASI eksklusif dan pemberian makanan tambahan.
1.4.3 Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menambah wawasan dalam bidang gizi mengenai hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi

2

Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Penyakit Pneumonia pada Balita di Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gangguan pada system pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada system organ tubuh lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relative ringan sampai Pneumonia berat.
Pneumonia adalah radang paru-paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing(1). Jadi kesimpulannya Pneumonia adalah radang paru yang dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli atau bronkus oleh eksudat yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Data yang diperoleh dari WHO dan UNICEF 50 persen dari pneumonia disebabkan oleh kuman ‘sterptokokus pneumonia’ (IPD) dan 30 persen oleh Haemophylus Influenza type B (HIB), sisanya oleh virus dan penyebab lain secara global, sekitar 1,6 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh penyakit ‘streptokokus pneumonia’, didalamnya 700.000 hingga 1 (satu) juta balita terutama berasal dari Negara berkembang. Secara nasional angka kejadian pneumonia belum diketahui secara pasti data yang ada baru berasal dari laporan Subdit ISPA Ditjen P2M-PL Depkes RI tahun 2007 dari 31 provinsi ditemukan 477.429 balita dengan pneumonia atau 21,52 persen dari jumlah seluruh balita di Indonesia.
Data Ibu yang mempunyai balita di Puskesmas ……. Kabupaten ……… selama 6 bulan (Juli-Desember 2009) dengan rincian Juli 3156 Ibu, Agustus 3156, September 3156, Oktober 3182, Nopember 3162, Desember 3155 Ibu yang mempunyai balita.
Data yang diperoleh di Puskesmas ……. Kabupaten ……… di Ruang MTBS dari bulan Juli 2009 sampai dengan Desember 2009 berjumlah 113 kasus, dengan rincian. Pada bulan Juli 15 balita, Agustus 12 balita, September 22 balita, Oktober 15 balita, November 25 balita dan Desember 24 balita yang menderita penyakit pneumonia yang berobat ke ruang MTBS Puskesmas ……. Kabupaten ……….
Menurut data yang penulis ketahui yang didapat di ruangan MTBS Puskesmas ……. Kabupaten ……… terdapat 113 balita usia 1-5 tahun yang terdaftar pernah berobat ke bagian MTBS Puskesmas ……. Kabupaten ……… pada 6 bulan terakhir dari Juli-Desember 2009. Dari 113 balita penderita pneumonia tidak ada penderita yang dirujuk ataupun meninggal, hanya mengikuti pengobatan di bagian MTBS Puskesmas ……. Kabupaten ……….
Dilihat dari data yang diperoleh selama 6 bulan dari Juli-Desember 2009 yaitu 113 kasus, angka kejadian cenderung meningkat atau tetap tidak ada penurunan. Dan banyaknya angka kejadian penyakit pneumonia di puskesmas ……. bisa disebabkan diantaranya tingkat pendidikan responden yang dari pengamatan langsung di lapangan didapatkan informasi bahwa sebagian besar pendidikan ibu-ibu yang mempunyai balita dengan penyakit pneumonia di Puskesmas ……. hanya tamatan SD (Sekolah Dasar). Sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa adanya banyak angka kejadian penyakit pneumonia dikarenakan kurangnya gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia.
Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya. Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu(9).
Apa bila ibu yang mempunyai pengetahuan baik maka akan bersifat langgeng dalam arti ibu yang mempunyai balita dapat mengatasi permasalahan ataupun menangani apabila balitanya mengalami penyakit pneumonia dan begitupun sebaliknya apabila ibu yang mempunyai pengetahuan yang buruk maka akan bersifat tidak langgeng dalam arti ibu yang mempunyai balita tidak dapat mengatasi permasalahan ataupun menangani apabila balitanya mengalami penyakit pneumonia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti bergerak untuk meneliti tentang gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ……. Kabupaten ……… tahun 2010.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ……. Kabupaten ……… tahun 2010”?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ……. Kabupaten ……….
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian penyakit pneumonia pada balita ( 1-5 tahun ) di Puskesmas ……. Kabupeten ……… tahun 2010.
b. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang penyebab penyakit pneumonia pada balita ( 1-5 tahun ) di Puskesmas ……. Kabupaten ……… tahun 2010.
c. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan dari penyakit pneumonia di Puskesmas ……. Kabupaten ……… tahun 2010.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak antara lain :
1.4.1 Bagi Instansi Pendidikan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan literature tambahan bagi instansi pendidikan khususnya instansi kesehatan untuk mengembangkan tentang penyakit pneumonia.
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan untuk dapat meningkatkan upaya pelayanan kesehatan pada masyarakat tentang penyakit pneumonia.
1.4.3 Bagi Responden
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan pada ibu-ibu tentang penyakit pneumonia pada balita.

1.5 Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini membahas tentang bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia di Puskesmas ……. Kabupaten ……… yang meliputi pengertian, penyebab dan penatalaksanaan dipandang dari sudut ilmu keperawatan.